LUANGPOR JUMNEAN CHONSAKHORN
Biodata ini diterjemahkan dari kutipan buku
Living Dharma:
Teachings of 12 Buddhist Masters
karya Jack Kornfield
terbitan Shambala, tahun 1996
ACHAAN JUMNIEN, Bab 15, hl. 272 - 285
Lahir di pedesaan, saat berusia muda beliau sempat berguru kepada seorang umat tunanetra yang berprofesi sebagai tabib tradisional dan juru ramal. ACHAAN JUMNIEN telah mulai berlatih meditasi semenjak ia berusia 6 tahun. Arahan meditasi pertama yang diberikan kepadanya adalah teknik meditasi samatha (samatha-bhavana) dan meditasi cinta kasih (metta-bhavana). Ia juga berlatih sebagai tabib tradisional dan selalu diingatkan untuk tetap berlatih meditasi dan hidup selibat / tidak berumah tangga. Beranjak dewasa, banyak penduduk desa sekitar yang meminta pertolongannya dan pada usia 20 tahun beliau ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhu Theravada. Beliau melanjutkan latihan bermacam-macam teknik meditasi samatha dengan guru-guru terkemuka di Thailand, mengembara sebagai bhikkhu dhutanga, dan kemudian mempelajari secara intensif meditasi vipasana dengan arahan dari Achaan (Lee) Dhammadaro di Wat Tow Kote.
Ketika beliau diminta untuk mengajar, beliau baru berusia 30-an tahun dan dikenal oleh masyarakat setempat karena kebijaksanaannya dalam menjelaskan Dhamma dan kekuatan cinta kasih (metta)-nya. Penduduk di Wat Sukontawas secara khusus meminta beliau untuk datang dan mengajar. Daerah ini pada saat itu sedang mengalami masalah yang serius dimana daerah yang berupa hutan lebat dan perkebunan karet di sebelah selatan Thailand adalah pusat pertikaian sengit yang kerap terjadi antara pihak pemerintah Thailand dengan para kaum pemberontak komunis. Saat beliau tiba dan mulai mengajar, beliau diancam harus segera meninggalkan daerah itu atau akan ditembak, tetapi beliau tetap saja tinggal dan mengajar. Dengan kekuatan Dhamma-nya, beliau akhirnya bisa mengajar prajurit-prajurit pemerintah di kota dan kemudian beliau juga diundang oleh pemberontak komunis yang bermarkas di hutan untuk mengajar. Kedua pihak bahkan menawarkan untuk melindungi vihara beliau. Beliau menjawab: “Hidup harmonis sejalan dengan Dhamma sejati adalah satu-satunya perlindungan yang beliau butuhkan.”
ACHAAN JUMNIEN adalah guru yang sangat terbuka untuk menggunakan berbagai macam teknik latihan meditasi. Beliau telah banyak belajar dan tidak hanya fokus kepada satu teknik meditasi saja tetapi beliau akan mengajarkan teknik yang berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan, kepribadian dan karakter kemelekatan murid-murid beliau. Meskipun teknik-teknik awalnya berbeda, beliau pada akhirnya selalu mengarahkan kembali ke latihan meditasi vipasana, melihat sifat alamiah proses batin dan jasmani sebagai sesuatu yang selalu berubah, tidak memuaskan dan tanpa aku. Adalah bagian dari pengajaran Beliau di mana tidak hanya satu jalan saja yang benar. Beliau mengajarkan pengembangan pada Dhamma sebagai eksperimen dan penyelidikan pada nafsu keinginan dan ketidak-puasan kita, mengamati kemajuan meditasi kita sebagai salah satu aspek dari pengembangan pandangan terang. Beliau membimbing murid-muridnya secara seksama, terlebih ketika mereka sedang berada dalam tingkat konsentrasi yang tinggi atau sedang mengatasi rasa sakit di saat praktek meditasi yang intensif (dua di antara cara khususnya dalam berlatih). Beliau selalu mengingatkan jalan kita di dalam Dhamma adalah pengamatan dan penyelidikan tiada henti. Seperti yang beliau katakan: Sangat penting untuk diketahui bahwa kita harus bertanggung jawab atas perkembangan Dhamma di dalam diri kita masing-masing. Berlatih hanya untuk diri sendiri dan ini merupakan suatu proses selama sepanjang hidup kita, meskipun kita boleh menggunakan satu teknik meditasi tertentu untuk suatu waktu, penghentian selamanya dari semua keinginan, kedamaian akhir, adalah merupakan kesimpulan akhir yang hakiki dari latihan spiritual kita.
Wat Sukontawas adalah daerah lereng pegunungan dimana kuti-kuti para yogi dibangun di antara barisan pepohonan karet. Selama musim hujan, sebanyak seratus hingga dua ratus orang bikkhu dan anagarini belajar dibawah bimbingan ACHAAN JAMNIEN. Sebanyak setengah lusin Bikkhu dari negara barat juga pernah belajar di sana; meskipun beliau tidak bisa berbahasa inggris, biasanya penterjemah selalu saja ada. ACHAAN JUMNIEN adalah sosok pribadi yang menyegarkan, penuh canda dan bersahaja.
Pada saat penerbitan buku ini, penulis mendapat kabar bahwa beliau telah memindahkan biaranya ke sejumlah gua di kawasan pegunungan Krabi, Thailand Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar